Ecoinfaq

Tentang Raidah

Hari ini tanggal 28 Oktober, hari Sumpah Pemuda. Salah satu spirit Sumpah Pemuda “membangun identitas kolektif bangsa”, merasa satu bangsa. Ibaratnya satu bangsa adalah satu badan, kalau ada satu anggota badan yang sakit, semua bagian lain ikut merasakan pedihnya.

Sayangnya, pemuda di zaman now (Generasi Z) cenderung ansos (antisosial) karena sangat intens berinteraksi dengan gadget (meski ada banyak kelebihan juga di aspek-aspek lain). Ini kata pengamat sosial dan psikologi ya, bukan kata saya.

Karena itulah, pemuda-pemudi yang masih tinggi kepedulian sosialnya, bahkan mau bekerja nun jauh di pelosok untuk membantu mencerdaskan masyarakat, adalah pemuda-pemudi yang istimewa.

Salah satu sosok pemudi istimewa itu adalah cucu Kyai Muchtar Adam. Namanya Raidah, berusia 27 tahun, lulusan UPI jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Dia memilih meninggalkan Bandung yang nyaman, jauh-jauh mengajar di sebuah pesantren yang dibangun kakeknya. Rute menuju pesantren adalah rute yang panjang.

Dari Bandung ke Makassar naik pesawat, lalu sambung lagi ke Kendari. Dari Kendari, lanjut ke Wakatobi, kalau naik kapal laut bisa sekitar 10-13 jam. Tapi untung sekarang ada pesawat. Lalu, lanjut ke dusun Bontu, di desa Matahora, Wangi-wangi Selatan (lokasi pesantren). Berangkat dari Bandung jam 5 subuh, sampai di lokasi jam 4 sore.

Kondisi pesantren yang dibangun swadaya itu sangat berkekurangan, namun Raidah tetap bertahan. Anak-anak yang belajar di sana tidak dipungut biaya namun operasional pendidikan jelas butuh biaya, sebagaimana di sekolah-sekolah lainnya.

Semoga tetap tegar dan sabar, Dik, seperti namamu, Raidah Shabirah. Dan semoga ada hati yang terketuk untuk membantu memberikan layanan pendidikan yang lebih layak bagi anak-anak di sana, karena mereka juga anak-anak Indonesia. Salam sayang untukmu

Dina A

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *