Di tangan para sufi, puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi perjalanan ruhani menuju cahaya Ilahi. Mereka tidak hanya berpuasa dari makanan, tetapi juga dari segala yang menghalangi mereka dari Allah. Inilah keindahan puasa di kalangan sufi: bukan sekadar ibadah fisik, tetapi pengalaman spiritual yang melampaui dimensi duniawi.
Sufi besar seperti Jalaluddin Rumi menggambarkan puasa sebagai saat ketika manusia mendengarkan bisikan jiwanya yang tertutup oleh hiruk-pikuk dunia. “Ketika perut kosong, jiwa mulai bernyanyi,” katanya. Bagi sufi, kelaparan bukanlah derita, melainkan pintu masuk menuju keintiman dengan Sang Kekasih. Mereka memahami bahwa ketika raga dilemahkan oleh puasa, jiwa justru dikuatkan oleh cinta Ilahi.

Abu Yazid Al-Busthami, seorang sufi besar lainnya, menyebut puasa sebagai cara untuk menghapus nafsu duniawi. Ia mengatakan bahwa lapar menundukkan ego, mensterilkan hati, dan membuka mata batin. Dengan demikian, puasa menjadi sarana untuk menelanjangi diri dari keinginan-keinginan rendah dan mendekatkan diri pada realitas hakiki.
Di dalam tradisi sufi, puasa sering dikaitkan dengan fana’—kehilangan diri dalam hadirat Ilahi. Ketika seseorang berpuasa dengan sepenuh kesadaran, ia mulai menyadari bahwa kebutuhannya yang sejati bukanlah makanan atau minuman, melainkan limpahan kasih sayang Allah. Inilah sebabnya banyak sufi yang tidak hanya berpuasa di bulan Ramadan, tetapi juga menjalankan puasa Daud, puasa Senin-Kamis, bahkan puasa yang lebih ketat untuk menjaga kejernihan hati mereka.
Seperti yang disampaikan Rumi dalam syairnya:
“Puasa adalah kebun di mana jiwa berbunga,
Lapar adalah air yang menyirami akarnya.
Dalam haus ini, cahaya cinta-Nya mengalir,
Menyingkap rahasia di dalam batin kita.”

Puasa dalam perspektif sufi juga bukan sekadar menghindari makanan, tetapi menahan diri dari segala yang sia-sia. Mereka menganggap berbicara berlebihan, melihat yang haram, atau bahkan memikirkan dunia secara berlebihan sebagai bentuk pembatalan puasa batin. Oleh karena itu, puasa sejati bagi mereka adalah menahan diri dari segala yang menjauhkan dari Allah, bukan sekadar lapar dan haus.
Seperti kata Rabiah Al-Adawiyah:
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, jauhkan aku darinya.
Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu,
Jangan sembunyikan keindahan wajah-Mu dariku.”
Dalam diam dan laparnya, para sufi justru merasa kenyang. Kenyang oleh ketenangan, kenyang oleh cahaya Ilahi yang memenuhi hati mereka. Mereka berpuasa bukan karena perintah semata, tetapi karena rindu kepada Tuhan yang mereka cintai.
Maka, puasa bagi para sufi adalah madrasah cinta. Sebuah jalan sunyi yang penuh cahaya. Di dalamnya, mereka tidak hanya menemukan makna kehidupan, tetapi juga menemukan wajah Allah yang selalu mereka rindukan.
Selamat menjalani ibadah Puasa. semoga mendapat keberkahan.